5 Perubahan Utama UU Haji Baru Yang Di Sahkan DPR & Berlaku Mulai 2026
Selasa (26/8/2025) DPR resmi mengesahkan perubahan ketiga UU no 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dalam rapat paripurna.aturan ini akan mulai di berlakukan mulai musim haji 2026.
Berikut lima poin yang perlu kita ketahui dari UU Haji terbaru tersebut:
1. Kendali penuh di Kementrian Haji
Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menegaskan penyelenggaraan haji kini sepenuhnya berada di bawah Kementerian Haji, termasuk infrastruktur dan SDM.
Intinya: Tidak ada lagi kebingungan atau tumpang tindih kewenangan antarlembaga. Mulai dari urusan infrastruktur di Tanah Suci hingga penentuan SDM (Sumber Daya Manusia) yang bertugas, semuanya berada di bawah satu komando, yaitu Menteri Agama. Langkah ini diharapkan membuat birokrasi haji jauh lebih lincah dan bertanggung jawab.
2. Kuota Petugas Haji daerah di kurangi
kuota tim petugas haji daerah (TPHD) akan dikurangi demi efisiensi. Langkah ini diharapkan menambah kuota jemaah haji mulai 2026.
Alasannya sederhana: Selama ini, kuota yang dialokasikan untuk TPHD dianggap terlalu besar, mengurangi jatah bagi jemaah reguler yang sudah bertahun-tahun antre. Dengan membatasi kuota petugas ini, pemerintah berharap dapat mengalihkan kursi tersebut. Dampaknya? Mulai 2026, kita berpotensi melihat penambahan kuota jemaah haji reguler yang signifikan.
3. Petugas Haji Boleh Non-Muslim
Ketua Panja RUU Haji, Singgih Januratmoko, mengungkap DPR dan pemerintah juga sepakat menghapus syarat petugas haji harus muslim, khususnya bagi PPIH di embarkasi atau daerah minoritas.
Konteksnya penting: Penghapusan ini bukan berarti non-muslim akan memimpin ibadah haji. Aturan ini sangat relevan untuk Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang bertugas di embarkasi atau daerah minoritas. Misalnya, petugas kesehatan atau teknisi logistik yang non-muslim tetap dapat direkrut untuk tugas-tugas teknis atau pelayanan yang tidak berkaitan langsung dengan ritual ibadah haji. Syarat detailnya akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Ini adalah langkah menuju pelayanan yang lebih inklusif dan profesional.
4. kuota Kabupaten /Kota di tentukan menteri
Kuota haji reguler kini langsung ditetapkan menteri, bukan lagi pemerintah daerah. Ketentuan Pasal 8 ayat 3 menyebut pembagian kuota didasarkan pada jumlah penduduk muslim di provinsi dan daftar tunggu.
Dasar Pembagian: Menteri akan membagi kuota reguler berdasarkan Pasal 8 ayat (3), yang menetapkan dua tolok ukur utama:
- Jumlah populasi muslim di provinsi bersangkutan.
- Panjang daftar tunggu jemaah haji di wilayah tersebut.
Kebijakan ini bertujuan menciptakan distribusi kuota yang lebih adil dan terpusat, memastikan alokasi benar-benar mencerminkan kondisi demografis dan antrean di setiap provinsi.
5. Batas Usia Minimal Turun Menjadi 13 Tahun
Ketentuan baru juga mengatur batas usia minimal calon jemaah dari sebelumnya 17 tahun menjadi 13 tahun. Wakil Ketua Komisi VIII, Ansory Siregar, menyebut dasar aturan ini merujuk pada usia akil balig.
Filosofinya: Perubahan ini didasarkan pada pertimbangan usia akil balig atau batas kedewasaan secara syariat, yang pada umumnya dicapai sekitar usia 13 tahun. Dengan aturan baru ini, anak-anak yang sudah memasuki usia akil balig diizinkan untuk mendaftar dan menunaikan ibadah haji.
Kesimpulan :
Secara keseluruhan, kelima perubahan ini menunjukkan arah baru dalam pengelolaan haji yang lebih terpusat, efisien, dan modern. Meskipun beberapa poin memunculkan diskusi hangat, fokus utamanya tetap pada peningkatan kualitas pelayanan bagi para tamu Allah di tahun-tahun mendatang.